Kenapa Konten Prank Dianggap Sudah Gak Lucu Lagi

Pernah ngerasa bosan tiap liat video “prank” muncul di beranda TikTok atau YouTube? Awalnya lucu, tapi lama-lama bikin ilfeel. Dulu prank identik sama hiburan ringan dan spontanitas, tapi sekarang banyak yang setuju kalau konten prank udah gak lucu lagi.

Fenomena ini menarik banget — gimana sesuatu yang dulu disukai jutaan orang, sekarang malah sering jadi bahan hujatan. Apa yang sebenarnya berubah? Apakah publik jadi baperan, atau justru kreatornya yang kelewatan batas?

Yuk, kita bedah satu per satu kenapa konten prank kehilangan daya tarik dan berubah dari lucu jadi ganggu.


1. Dari Spontan Jadi Settingan

Dulu, prank populer karena unsur kejutannya asli.
Reaksi orang yang gak tahu mereka lagi dikerjain bikin penonton ikut ngakak. Tapi sekarang, banyak banget prank settingan — semua udah diatur, ekspresi pura-pura kaget, bahkan korban “prank”-nya udah diajak main bareng.

Contohnya?
Prank “bagi-bagi uang ke orang miskin tapi diambil lagi” atau “pura-pura miskin tapi sebenarnya kaya.”
Awalnya niatnya bikin lucu atau nyentuh, tapi kalau udah terlalu sering dan palsu, hasilnya malah cringe.

Publik sekarang lebih peka. Mereka bisa bedain mana yang real, mana yang “akting demi views.” Dan ketika keaslian hilang, kelucuan ikut lenyap.


2. Prank yang Dulunya Lucu Sekarang Malah Ganggu

Masalah utama tren prank sekarang adalah banyak yang udah lewat batas etika.
Bukan lagi bikin ketawa bareng, tapi ketawa di atas ketidaknyamanan orang lain.

Contohnya:

  • Prank pura-pura jambret.
  • Prank pura-pura kerasukan di tempat umum.
  • Prank nyiram air ke orang asing tanpa izin.

Hal-hal kayak gini mungkin dianggap lucu oleh kreatornya, tapi bagi korban, jelas mengganggu, bahkan bisa traumatis.
Yang dulu lucu karena “reaksi alami,” sekarang malah bikin orang marah dan risih.


3. “Humor” yang Gak Peka Sosial

Salah satu alasan kenapa konten prank udah gak lucu lagi adalah karena banyak yang gak peka konteks sosial.
Beberapa prank malah eksploitasi orang miskin, penyandang disabilitas, atau orang tua buat konten.

Contoh:
Kreator pura-pura nolongin orang miskin lalu bilang “prank doang” di akhir video. Tujuannya mungkin “konten sosial eksperimen,” tapi efeknya justru bikin malu dan gak manusiawi.

Netizen sekarang lebih cerdas.
Mereka gak cuma liat “kelucuan,” tapi juga pesan moral dan empati di balik konten. Kalau tujuannya cuma buat views tanpa mikirin perasaan orang lain, ya gak bakal dianggap lucu lagi.


4. Prank = Drama, Bukan Komedi

Banyak kreator sekarang pakai konsep “prank” buat bikin drama clickbait.
Judulnya heboh: “PRANK PACAR SAMPAI NANGIS!!”, “PRANK ORANG TUA SAMPAI KECEWA!!!”
Padahal semua udah diatur, lengkap dengan acting sedih dan marah.

Kesan yang muncul: bukan lucu, tapi capek.
Penonton ngerasa dibohongi, bukan dihibur.
Prank yang harusnya ringan malah berubah jadi tontonan melodrama penuh gimmick.

Dan di era sekarang, penonton Gen Z gak suka hal yang “fake” — mereka pengen sesuatu yang real, jujur, dan autentik.


5. Efek Overused: Ketika Semua Orang Jadi Tukang Prank

Prank dulunya unik karena jarang ada. Tapi sekarang?
Hampir semua kreator pernah bikin “konten prank.” Akibatnya, konsepnya jadi saturated alias kebanyakan.

Bahkan formatnya udah ketebak:

  1. Awal: pura-pura serius.
  2. Tengah: korban bingung.
  3. Akhir: “Itu cuma prank, bro!”

Gak ada kejutan, gak ada tawa spontan. Semuanya terasa formulaik dan basi.
Dan kayak semua hal di internet, kalau udah terlalu sering dipakai, orang pasti bosan.


6. Perubahan Selera Humor Netizen

Selera humor netizen juga ikut berevolusi.
Kalau dulu orang bisa ketawa liat orang jatuh atau kaget, sekarang mereka lebih suka humor cerdas dan situasional.
Konten kayak komedi sketsa, parodi, atau meme meta jauh lebih diterima karena ngasih hiburan tanpa harus nyakitin siapa pun.

Netizen sekarang juga lebih sadar etika digital. Mereka bisa menilai mana konten yang lucu beneran, mana yang cuma “maksa lucu” dengan cara kasar atau mempermalukan orang.


7. Dampak Negatif di Dunia Nyata

Masalah lain dari tren prank adalah dampak sosialnya. Banyak kasus di mana prank justru berakhir rusuh dan berbahaya.
Misalnya:

  • Orang panik karena dikira beneran diserang.
  • Korban prank ngelawan karena ngerasa terancam.
  • Kreator malah dilaporin ke polisi karena bikin keributan di tempat umum.

Ada juga beberapa kasus tragis di luar negeri — prank yang salah paham malah berujung kematian.
Artinya, prank bukan lagi sekadar lucu-lucuan digital, tapi bisa berdampak nyata.


8. Publik Mulai Lebih Peka dan Kritis

Di era dulu, orang gampang ketawa. Tapi sekarang, audiens udah kritis dan sensitif terhadap isu sosial.
Ketika nonton konten prank, mereka gak cuma liat hasil akhirnya, tapi juga cara di baliknya.

Pertanyaan yang sering muncul sekarang:

  • “Apakah ini direkam dengan izin?”
  • “Apakah orang di video ini nyaman?”
  • “Apakah ini beneran lucu atau justru ngatain orang?”

Kalau jawabannya negatif, ya otomatis penonton bakal ilfeel.


9. Algoritma Gak Selalu Pro-Prank Lagi

Platform kayak TikTok dan YouTube sekarang juga mulai lebih ketat soal konten prank.
Banyak video prank yang dianggap berpotensi membahayakan atau melanggar privasi akhirnya dihapus.

Akibatnya, kreator yang dulu hidup dari prank harus adaptasi ke format baru — kayak sketsa komedi, storytime, atau vlog real-life.
Tren berubah, algoritma ikut berubah. Yang survive adalah yang bisa berkembang, bukan yang maksa tetap di zona “prank ekstrem.”


10. Prank yang Punya Nilai Masih Bisa Lucu

Bukan berarti semua prank jelek.
Ada juga konten prank yang positif dan kreatif — misalnya:

  • Prank kasih kejutan ke orang tua dengan hadiah beneran.
  • Prank sosial yang berakhir dengan hal baik (kayak kasih uang atau bantuan ke orang asing).
  • Prank ringan yang nggak melanggar privasi dan tetap menghormati orang lain.

Selama tujuannya buat bikin senang, bukan buat mempermalukan, prank masih bisa jadi hiburan yang sehat.
Masalahnya, banyak yang lupa batas antara “iseng” dan “nginjek batas moral.”


FAQ Tentang Fenomena Konten Prank

1. Kenapa prank dulu lucu, sekarang nggak?
Karena unsur spontan dan kejujurannya hilang — sekarang lebih banyak yang settingan dan berlebihan.

2. Apakah prank masih boleh di era sekarang?
Boleh, asal dilakukan dengan etika dan tanpa bikin orang lain tersakiti atau terhina.

3. Kenapa banyak orang masih bikin prank padahal udah dianggap basi?
Karena masih bisa viral cepat, walau sering dikritik. Engagement tetap tinggi, terutama dari penonton yang belum sadar risikonya.

4. Apakah prank bisa dianggap bentuk bullying?
Kalau tujuannya mempermalukan, iya. Banyak prank yang sebenarnya udah masuk kategori cyberbullying.

5. Apa alternatif hiburan selain prank?
Komedi situasional, sketsa kreatif, parodi, dan storytelling yang lucu tapi tetap sopan.

6. Gimana cara bikin prank yang etis?
Pastikan semua pihak tahu dan nyaman, hindari eksploitasi, dan jangan pernah ganggu publik tanpa izin.


Kesimpulan

Fenomena konten prank adalah contoh nyata gimana tren digital bisa berubah cepat. Dulu dianggap kreatif, sekarang banyak yang capek dan jijik.
Bukan karena penonton baper, tapi karena batas moral dan rasa empati makin dihargai.

Humor itu harusnya bikin orang tertawa bersama, bukan tertawa di atas penderitaan orang lain.

Jadi kalau kamu masih pengen bikin konten lucu, gak apa-apa — tapi jangan pakai embel-embel “prank” yang ngerugiin orang lain. Karena di era sekarang, yang paling lucu bukan yang paling jahat, tapi yang paling cerdas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *